Batal Atau Tidak Ketiduran Dalam Keadaan Wudhu..?
Mungkin karena suasana di dalam masjid yang begitu tenang dan hening, angin pun bertiup sepoi-sepoi mengelus-elus pipi kita dengan lembutnya—apalagi di dalam masjid terdapat kipas angin atau ِAir Conditioner (AC)—pepohonan juga melambai-lambai serasa membelai rambut indah kita dengan kasih sayangnya, ditambah lagi kita sebelumnya telah melakukan aktivitas sekolah atau kerja; maka suara khatib persis seperti suara ibu kita yang mendongeng sebelum kita tidur di pembaringan, ketika kita masih kecil.
Bahkan, karena tidur ketika khutbah disampaikan sudah menjadi hal yang ghalib (umum), muncullah sebuah anekdot, “Kalau ada orang menderita insomnia—susah tidur—ajak saja untuk shalat Jum‘at. Niscaya, saat mendengarkan khutbah, dia akan tertidur pulas.” Entah sikap apa yang harus diambil, apakah kita harus bangga atau tidak dengan anekdot ini mari kita bahas disini..
Ketika khutbah jum’at tidak sedikit kaum lelaki yang ketiduran, mungkin karena kecapean kerja sekalian buat istirahat siang, atau mungkin khutbahnya lama sekali, atau juga khutbahnya tidak enak untuk didengarkan sehingga menyebabkan ketiduran. Telah kita ketahui bersama bahwa pembacaan khutbah jum’at adalah sebelum kita melaksanakan sholat jum’at berbeda dengan khutbah idul fitri atau idul adha yang dilaksanakan ketika selesai melaksanakan sholat ied.
Terjadi permasalahan di sini, ada kaum lelaki yang wudhu dulu dan ada juga yang tidak wudhu ketika sholat jum’at akan dimulai sedangkan dari mereka habis ketiduran.
Disini timbul pertanyaan, apakah tidur membatalkan wudhu atau tidak membatalkan ?
JAWABAN
Ada 3 pendapat ulama mengenai masalah ini;
– Tidur bukan termasuk pembatal wudhu.
– Tidur termasuk pembatal wudhu.
– Tidur ada yang Membatalkah Wudhu dan Ada juga Tidur Yang Tidak Membatalkan
PENDAPAT PERTAMA : TIDUR TIDAK MEMBATALKAN WUDHU
Pendapat ini dinukil dari beberapa sahabat dan tabiin, seperti Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dan Said bin Musayib. Diantara alasan pendapat ini,
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qotadah, “Iya betul. Demi Allah.
Keterangan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :
أن الصحابة رضي الله عنهم كانوا ينتظرون العشاء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى تخفق رؤوسهم ثم يصلون ولا يتوضؤون
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka menunggu shalat isya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepala mereka ngantuk dan kepala tertunduk. Kemudian mereka shalat jamaah dan mereka tidak mengulangi wudhu. (HR. Abu Daud 200 dan dishahihkan Al-Albani)
bahwa tidur itu sendiri bukan pembatal wudhu. Hanya saja dikhawatirkan dengan tidur orang akan melakukan hadas dan dia tidak merasa. Artinya, munculnya hadats statusnya meragukan. Dan sesuatu yang meragukan tidak bisa menggugurkan yang yakin.
PENDAPAT KEDUA : TIDUR TERMASUK PEMBATAL WUDHU
Semua tidur baik sebentar atau lama, dengan posisi apapun. Selagi telah hilang kesadaran karena tertidur, maka wudhunya batal. Ini merupakan pendapat sebagian sahabat dan tabiin, dan pendapat yang dipilih oleh Ishaq bin rahuyah, Al-Muzani, Hasan Al-bashri, Ibnu Mundzir, Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam dan Ibn Hazm. Diantara dalil pendapat ini,
Hadis Shafwan bin ‘Asal radhiyallahu ‘anhu,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا إذا كنا على سفرا أن لا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة ولكن من غائط وبول ونوم
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami apabila dalam perjalanan, agar tidak melepaskan sepatu kami selama 3 hari 3 malam, kecuali jika karena junub. Kami tidak perlu melepas ketika wudhu karena selesai buang air besar, kencing, atau tidur.” (HR. An-Nasa’I 127, Turmudzi 96, dan dihasankan Al-Albani).
Juga hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ
“Mata adalah sumbatnya dubur. Karena itu, siapa yang tidur, dia harus wudhu.” (HR. Ahmad 887, Ibn Majah 477, Ad-Darimi dalam sunannya 749, dan dinilai Hasan oleh Al-Albani).
Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ‘tidur‘ dalam daftar pembatal wudhu, sebagaimana buang air besar dan kencing. Tanpa dibedakan antara tidur model tertentu dengan model tidur lainnya. Sementara Shafwan bin ‘Asal termasuk sahabat yang masuk islam di masa akhir dakwah, sebagaimana keterangan Ibn hazm.
PENDAPAT KETIGA : TIDAK SEMUA TIDUR MEMBATALKAN WUDHU.
Pendapat ini merupakan kompromi antara hadis Anas bin Malik dengan hadis Shafwan bin ‘Asal dan hadis Ali bin Abi Thalim radhiyallahu ‘anhum, pendapat ini memberikan rincian. Tidak semua tidur bisa membatalkan wudhu. Ada tidur yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak membatalkan wudhu.
Inilah pendapat para ulama madzhab 4 : Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan rincian dan batasan antara yang membatalkan dan yang tidak membatalkan. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan dalam menentukan sebab mengapa tidur bisa membatalkan wudhu. Ada yang melihat ukurannnya, ada yang mengacu pada bentuknya, dan ada yang memperhatikan makna tidur itu sendiri.
Semua tidur membatalkan wudhu kecuali tidur sebentar, ini meruapakan madzhab hambali. Batasan yang digunakan hambali kembali pada ukuran.
Tidur bisa membatalkan kecuali jika tidur yang dilakukan dengan posisi duduk tenang. Ini merupakan pendapat Syafiiyah. Sementara Daud Ad-Dzahiri mengatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur terlentang.
Semua tidur membatalkan wudhu, kecuali tidur yang dilakukan ketika shalat. Ini merupakan pendapat Hanafiyah.
Batasan yang ditetapkan dalam madzhab Syafii, Hanafi, dan Daud Ad-Dzahiri kembali pada bentuk tidur.
Tidur merupakan madzannah hadats (peluang terjadinya hadats). Karena itu, selama orang tidur masih bisa menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal. Namun jika orang yang tidur tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya, maka wudhunya batal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah menurut riwayat yang masyhur, dan yang dipilih oleh Syaikhul islam Ibn taimiyah dan Ibn Utsaimin.
KESIMPULAN
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat Malikiyah, merinci antara tidur pembatal wudhu dan tidur yang bukan pembatal wudhu dengan kembali pada makna tidur itu sendiri.
Hadis Anas bin Malik, dimana para sahabat menunggu shalat isya sampai tertidur, dan mereka ketika mendengar iqamah langsung shalat tanpa mengulang wudhu, dipahami sebagai kondisi tidur yang masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya.
Sementara hadis Shafwan bin Asal yang menyebutkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu dipahami untuk tidur yang tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga ketika terjadi hadas, orang ini tidak merasakan sama sekali.
Kompromi semacam ini, dikuatkan oleh hadis, diantaranya :
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناء حتى يغسلها ثلاثاً ، فإن أحدكم لا يدري أين باتت يده
“Apabila kalian bangun tidur, jangan mencelupkan tangannya ke air, sampai dia cuci tiga kali. Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur.” (HR. Muslim 278).
Keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur” maknanya, orang yang tidur itu sudah tidak lagi sadar. Oleh karena itu, jika ada orang yang tidur dan dia masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal.
Kemudian hadis lain yang menguatkan kompromi ini adalah hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hal ini dikuatkan oleh sabda Beliau sallallahu alaihi wa sallam:
العين وِكَاء السَّهِ ، فإذا نامت العينان استطلق الوكاء (رواه أحمد، 4/97، وحسنه الألباني في صحيح الجامع، رقم 4148)
“Mata itu tali (penutup) dubur, kalau kedua mata tidur, maka tali itu terlepas.”
(HR. Ahmad, 4/97, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 4148)
Wika (وكاء) adalah benang untuk mengikat qirbah (tempat minum dari kulit).
As-sahi (السه) yaitu dubur.
Maksudnya bahwa terjaga itu merupakan tali dubur, yaitu penjaga sesuatu yang keluar darinya. Kalau dia masih terjaga akan merasakan apa yang keluar darinya. Kalau tidur, maka akan terlepas talinya.
At-Thayyib berkata: “Kalau seseorang terjaga, dia dapat menahan apa yang ada di perutnya, namun kalau tertidur akan hilang pilihannya dan sendi-sendinya melemas.” (kitab Aunul Ma’bud)
Kalau seseorang tidak dapat mengendalikan talinya yang sekiranya jika berhadats, dia tidak dapat merasakan pada dirinya, maka tidurnya itu membatalkan (wudu), dan kalau tidak, maka hal itu tidak membatalkan.
tanks to : masuk-islam.com
Bahkan, karena tidur ketika khutbah disampaikan sudah menjadi hal yang ghalib (umum), muncullah sebuah anekdot, “Kalau ada orang menderita insomnia—susah tidur—ajak saja untuk shalat Jum‘at. Niscaya, saat mendengarkan khutbah, dia akan tertidur pulas.” Entah sikap apa yang harus diambil, apakah kita harus bangga atau tidak dengan anekdot ini mari kita bahas disini..
Ketika khutbah jum’at tidak sedikit kaum lelaki yang ketiduran, mungkin karena kecapean kerja sekalian buat istirahat siang, atau mungkin khutbahnya lama sekali, atau juga khutbahnya tidak enak untuk didengarkan sehingga menyebabkan ketiduran. Telah kita ketahui bersama bahwa pembacaan khutbah jum’at adalah sebelum kita melaksanakan sholat jum’at berbeda dengan khutbah idul fitri atau idul adha yang dilaksanakan ketika selesai melaksanakan sholat ied.
Terjadi permasalahan di sini, ada kaum lelaki yang wudhu dulu dan ada juga yang tidak wudhu ketika sholat jum’at akan dimulai sedangkan dari mereka habis ketiduran.
Disini timbul pertanyaan, apakah tidur membatalkan wudhu atau tidak membatalkan ?
JAWABAN
Ada 3 pendapat ulama mengenai masalah ini;
– Tidur bukan termasuk pembatal wudhu.
– Tidur termasuk pembatal wudhu.
– Tidur ada yang Membatalkah Wudhu dan Ada juga Tidur Yang Tidak Membatalkan
PENDAPAT PERTAMA : TIDUR TIDAK MEMBATALKAN WUDHU
Pendapat ini dinukil dari beberapa sahabat dan tabiin, seperti Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dan Said bin Musayib. Diantara alasan pendapat ini,
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qotadah, “Iya betul. Demi Allah.
Keterangan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :
أن الصحابة رضي الله عنهم كانوا ينتظرون العشاء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى تخفق رؤوسهم ثم يصلون ولا يتوضؤون
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka menunggu shalat isya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepala mereka ngantuk dan kepala tertunduk. Kemudian mereka shalat jamaah dan mereka tidak mengulangi wudhu. (HR. Abu Daud 200 dan dishahihkan Al-Albani)
bahwa tidur itu sendiri bukan pembatal wudhu. Hanya saja dikhawatirkan dengan tidur orang akan melakukan hadas dan dia tidak merasa. Artinya, munculnya hadats statusnya meragukan. Dan sesuatu yang meragukan tidak bisa menggugurkan yang yakin.
PENDAPAT KEDUA : TIDUR TERMASUK PEMBATAL WUDHU
Semua tidur baik sebentar atau lama, dengan posisi apapun. Selagi telah hilang kesadaran karena tertidur, maka wudhunya batal. Ini merupakan pendapat sebagian sahabat dan tabiin, dan pendapat yang dipilih oleh Ishaq bin rahuyah, Al-Muzani, Hasan Al-bashri, Ibnu Mundzir, Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam dan Ibn Hazm. Diantara dalil pendapat ini,
Hadis Shafwan bin ‘Asal radhiyallahu ‘anhu,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا إذا كنا على سفرا أن لا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة ولكن من غائط وبول ونوم
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami apabila dalam perjalanan, agar tidak melepaskan sepatu kami selama 3 hari 3 malam, kecuali jika karena junub. Kami tidak perlu melepas ketika wudhu karena selesai buang air besar, kencing, atau tidur.” (HR. An-Nasa’I 127, Turmudzi 96, dan dihasankan Al-Albani).
Juga hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ
“Mata adalah sumbatnya dubur. Karena itu, siapa yang tidur, dia harus wudhu.” (HR. Ahmad 887, Ibn Majah 477, Ad-Darimi dalam sunannya 749, dan dinilai Hasan oleh Al-Albani).
Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ‘tidur‘ dalam daftar pembatal wudhu, sebagaimana buang air besar dan kencing. Tanpa dibedakan antara tidur model tertentu dengan model tidur lainnya. Sementara Shafwan bin ‘Asal termasuk sahabat yang masuk islam di masa akhir dakwah, sebagaimana keterangan Ibn hazm.
PENDAPAT KETIGA : TIDAK SEMUA TIDUR MEMBATALKAN WUDHU.
Pendapat ini merupakan kompromi antara hadis Anas bin Malik dengan hadis Shafwan bin ‘Asal dan hadis Ali bin Abi Thalim radhiyallahu ‘anhum, pendapat ini memberikan rincian. Tidak semua tidur bisa membatalkan wudhu. Ada tidur yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak membatalkan wudhu.
Inilah pendapat para ulama madzhab 4 : Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan rincian dan batasan antara yang membatalkan dan yang tidak membatalkan. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan dalam menentukan sebab mengapa tidur bisa membatalkan wudhu. Ada yang melihat ukurannnya, ada yang mengacu pada bentuknya, dan ada yang memperhatikan makna tidur itu sendiri.
Semua tidur membatalkan wudhu kecuali tidur sebentar, ini meruapakan madzhab hambali. Batasan yang digunakan hambali kembali pada ukuran.
Tidur bisa membatalkan kecuali jika tidur yang dilakukan dengan posisi duduk tenang. Ini merupakan pendapat Syafiiyah. Sementara Daud Ad-Dzahiri mengatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur terlentang.
Semua tidur membatalkan wudhu, kecuali tidur yang dilakukan ketika shalat. Ini merupakan pendapat Hanafiyah.
Batasan yang ditetapkan dalam madzhab Syafii, Hanafi, dan Daud Ad-Dzahiri kembali pada bentuk tidur.
Tidur merupakan madzannah hadats (peluang terjadinya hadats). Karena itu, selama orang tidur masih bisa menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal. Namun jika orang yang tidur tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya, maka wudhunya batal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah menurut riwayat yang masyhur, dan yang dipilih oleh Syaikhul islam Ibn taimiyah dan Ibn Utsaimin.
KESIMPULAN
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat Malikiyah, merinci antara tidur pembatal wudhu dan tidur yang bukan pembatal wudhu dengan kembali pada makna tidur itu sendiri.
Hadis Anas bin Malik, dimana para sahabat menunggu shalat isya sampai tertidur, dan mereka ketika mendengar iqamah langsung shalat tanpa mengulang wudhu, dipahami sebagai kondisi tidur yang masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya.
Sementara hadis Shafwan bin Asal yang menyebutkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu dipahami untuk tidur yang tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga ketika terjadi hadas, orang ini tidak merasakan sama sekali.
Kompromi semacam ini, dikuatkan oleh hadis, diantaranya :
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناء حتى يغسلها ثلاثاً ، فإن أحدكم لا يدري أين باتت يده
“Apabila kalian bangun tidur, jangan mencelupkan tangannya ke air, sampai dia cuci tiga kali. Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur.” (HR. Muslim 278).
Keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur” maknanya, orang yang tidur itu sudah tidak lagi sadar. Oleh karena itu, jika ada orang yang tidur dan dia masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal.
Kemudian hadis lain yang menguatkan kompromi ini adalah hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hal ini dikuatkan oleh sabda Beliau sallallahu alaihi wa sallam:
العين وِكَاء السَّهِ ، فإذا نامت العينان استطلق الوكاء (رواه أحمد، 4/97، وحسنه الألباني في صحيح الجامع، رقم 4148)
“Mata itu tali (penutup) dubur, kalau kedua mata tidur, maka tali itu terlepas.”
(HR. Ahmad, 4/97, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 4148)
Wika (وكاء) adalah benang untuk mengikat qirbah (tempat minum dari kulit).
As-sahi (السه) yaitu dubur.
Maksudnya bahwa terjaga itu merupakan tali dubur, yaitu penjaga sesuatu yang keluar darinya. Kalau dia masih terjaga akan merasakan apa yang keluar darinya. Kalau tidur, maka akan terlepas talinya.
At-Thayyib berkata: “Kalau seseorang terjaga, dia dapat menahan apa yang ada di perutnya, namun kalau tertidur akan hilang pilihannya dan sendi-sendinya melemas.” (kitab Aunul Ma’bud)
Kalau seseorang tidak dapat mengendalikan talinya yang sekiranya jika berhadats, dia tidak dapat merasakan pada dirinya, maka tidurnya itu membatalkan (wudu), dan kalau tidak, maka hal itu tidak membatalkan.
tanks to : masuk-islam.com
Post a Comment for "Batal Atau Tidak Ketiduran Dalam Keadaan Wudhu..?"
Terima kasih sudah singgah di blog kami yang sederhana ini,
* Jika artikel kami bermanfaat silakan berbagi di media sosial tombolnya ada di atas itu,
* Jika berkenan tinggalkan jejak anda di kolom komentar di atas/bawah ini...